Pelajaran pertama: Obat Rohani
Ibnu at-Tin mengatakan, “Ruqyah dengan mu’awidzat (Surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas) dan nama-nama AllahSubhanahu wa Ta’ala adalah obat rohani. Jika obat ini dibaca oleh lisan orang yang bertakwa maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala kesembuhan akan terwujud. Tatkala manusia semacam itu sulit ditemukan maka banyak orang lantas menggunakan obat jasmani.”
Pelajaran Kedua: Sembuh Karena Sugesti
Ibnu Utsaimin mengatakan, “Obat adalah sebab datangnya kesembuhan dan sebab itu ada dua macam. Pertama, sebab kesembuhan yang berdasarkan syariat semisal dengan membaca Alquran dan doa. Kedua, sebab kesembuhan berdasarkan realita semisal obat-obatan berupa materi-materi tertentu yang boleh jadi diketahui melalui jalan syariat –semisal madu- atau diketahui kegunaannya berdasarkan pengalaman empirik semisal umumnya obat-obatan.
Untuk obat yang diketahui dari percobaan empirik, pengaruh obat tersebut harus berupa pengaruh langsung, bukan pengaruh karena imajinasi dan anggapan semata (baca: sugesti). Jika suatu materi itu diketahui memiliki pengaruh langsung yang empirik pada penyakit, maka materi tersebut bisa dijadikan sebagai obat yang akan mendatangkan kesembuhan dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika pengaruh materi obat tersebut hanya semata anggapan dan imajinasi pasien sehingga setelah mendapatkan pengobatan tersebut pasien merasakan lega dikarenakan anggapan yang sudah ada sebelumnya lalu rasa sakit berkurang atau bahkan obat tersebut menyebabkan kenyamanan jiwa sehingga menyebabkan penyakit hilang secara total, maka hal ini tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur. Kondisi tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk meyakini bahwa materi tersebut memang benar-benar obat. Manusia tidak boleh larut dalam anggapan dan imajinasi semata.”
Pelajaran Ketiga: Bolehkah Kalimat, ‘Dokter Itu Menyembuhkan?’
Ath-Thibi mengatakan, “Jika Anda bertanya bagaimana cara mengompromikan hadis ini (yaitu hadis yang menunjukkan bahwa anggota badan manusia itu mengikuti lisan, Pent.) dengan hadis Nabi ‘Ingalah bahwa di dalam tubuh itu ada sekerat daging. Jika ia baik maka seluruh badan akan baik. Jika ia rusak maka seluruh badan akan ursak. Itulah hati’ (HR. Bukhari ni. 52 dan Muslim no.1599 dari an-Nu’man bin Basyir)? Jawabanku adalah bahwa lisan merupakan penerjemah hati dan wakil hati untuk anggota badan yang lahirian. Maka jika dikatakan anggota badan yang lain maka itu adalah sekadar ungkap majaz, (kata kiasan) sebagaimana kalimat, ‘Dokter itu menyembuhkan pasien’,”
Pelajaran Keempat: Khusus Kurma Ajwah?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Jika seorang yang akan berangkat shalat Idul Fitri itu memakan tujuh butir kurma, maka itu adalah suatu hal yang baik mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa pagi-pagi memakan tujuh butir kurma dari daerah Aliyah –dalam redaksi yang lain: ‘tujuh butir kurma ajwah’-, maka pada hari itu dia tidak akan terkena racun dan sihir.’ (HR. Bukhari no. 5445 dan Muslim no. 155 dari Sa’ad bin Abi Waqqash)
Subhanallah, perlindungan dan penjagaan dengan sebab tujuh kurma dari daerah Aliyah –nama suatu tempat di kota Madinah- atau tujuh butir kurma ajwah. Bahkan guru kami Ibnu Sa’di berpandangan bahwa kurma daerah Aliyah atau kurma ajwah adalah sekadar contoh karena yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah semua jenis kurma. Berdasarkan pendapat ini seorang itu bisa berpagi-pagi pada setiap harinya memakan tujuh butir kurma dari jenis apa pun.”
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa saja yang setiap hari berpagi-pagi memakan tujuh butir kurma ajwah maka sihir dan racun tidak akan membahaykannya sejak pagi itu hingga malam tiba’.” Menurut versi perawi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tujuh butir kurma.” (HR. Bukhari no. 5435)
Boleh jadi ungkapan “tujuh butir kurma” yang tidak mensyaratkan harus ajwah adalah dasar pijakan Ibnu Sa’di yang juga disetujui oleh Ibnu Utsaimin untuk mengatakan bahwa keutamaan di atas berlaku untuk semua jenis kurma.
Pelajaran Kelima: Upah Bekam
Syaikh Abdullah Aba Buthain mengatakan, “Yang dimaksud dengan upah tukang bekam adalah upah yang diambil oleh tukang bekam karena membekam. Sedangkan pemberian yang diberikan kepada tukang bekam tanpa ada kesepakatan di depan, maka hukumnya diperbolehkan oleh sebagian ulama karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi sesuatu kepada orang yang membekam beliau.
Sebagian ulama mengatakan bahwa seandainya upah untuk tukang bekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan sesuatu kepadanya. Menurut mereka, hadis yang melarang upah bekam itu hanya berlaku jika besaran upah ditentukan di muka.”
Oleh: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun Kesebelas 1433 H/2012 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar